Oleh: Jamrin Abubakar*
DONGGALA-Puluhan mahasiswa Fakultas Teknik
Universitas Tadulako (Untad) menghadiri event Donggala Heritage yang dipusatkan
di area pecinan kota Donggala. Mahasiswa bersama empat orang dosen (Amar,
Rahmad Saleh, Zubair Butudoka dan Fathurahman Mansur) Fakultas Teknik Untad
memberi apresiasi terhadap upaya pelestarian warisan budaya berupa
bangunan-bangunan tua bernilai sejarah di kota tua Donggala. Hadiri pula
anggota DPRD Donggala, Aripuddin Hatba Daemantandu, dosen FISIP UNTAD, Hapri
Ika Poigi dan sejumlah pemerhati dan pekerja seni dari Kota Palu.
Kehadiran mahasiswa arsitek di
Donggala selain untuk mendengarkan berbagai masalah yang diungkapkan dalam
diskusi yang dihadiri berbagai kalangan soal warisan kota, juga diharapkan
melihat langsung kondisi arsitektur kota tua Donggala. Secara arsitektur, kota
tersebut memiliki gaya yang khas
perpaduan beberapa langgam bangunan
antara gaya Eropa, Arab, Cina dan Nusantara. Meskipun mahasiswa hanya mendengar
terhadap yang mengemuka dalam pertemuan, tapi mereka mengapresiasi dan rasa
senang dengan hadir di kota tua Donggala.
FGD tentang Donggala Heritage, 23 Januari 2015 di Gedung Tua bekas toko di kawasan pecinaan kota Donggala (foto. Rudiawan)
Berbagai pokok pikiran mengemuka dalam
Focus Group Discusion (FGD) untuk menjadi rumusan menjadikan Donggala sebagai
kota yang memiliki warisan budaya dalam bentuk arsitektur bernilai sejarah. Menurut
Fathurahman Mansur, dosen Fakultas Teknik Untad, pelestarian warisan kota di
Donggala dapat dimulai dari kawasan pecinan di sekitar area pelabuhan Donggala,
terutama bekas toko Teng Hien, salah satu orang Cina yang memiliki usaha
perdagangan zaman dahulu di Donggala. Bangunan yang pernah ditempati Teng Hing
merupakan bangunan bernilai sejarah dan gaya arsitektur yang menarik. Selain
itu masih ada beberapa bangunan tua berarsitektur lama dengan nilai sejarah
yang dapat dipertahankan untuk dijadikan cagar budaya. Terutama bangunan PKKDD
(Pusat Koperasi Kopra Daerah Donggala) bentuk silinderis dapat dijadikan cagar
budaya. Cuma saja status kepemilikannya sudah berpindah tangan dan fungsi serta
sebagian sudah diambang kepunahan, sehingga perlu pelestarian dalam bentuk
wadah diberi nama Donggala Heritage Society.
“Kalau ini terbentuk akan bekerja
dalam pelestarian yang di dalamnya melibatkan berbagai kalangan dengan beragam
latar belakang dimana semua orang memiliki hak untuk memberi sumbangan pikiran
dan ikut menjaga sebagai kebanggaan masyarakat Donggala,” ungkap Zulkifly
Pagessa salah satu penggagas Donggala Heritage.
Pandangan Amar salah satu dosen
arsitek dari UNTAD, mengatakan membicarakan warisan kota tua Donggala tidak
bias lepas dari pelabuhannya. Pelabuhan merupakan gerbang kota, ibarat untuk
masuk dan mengembangkan kota ini, maka harus lebih dulu mengentuk pintunya,
yaitu pelabuhan. Selain itu, kata Amar membangun kota Donggala untuk
pengembangan, harus dengan tetap mempertahankan kekhasan kawasan pelabuhan. “Dalam
merancang Donggala ke depan kaitannya dengan pengembangan wisata, sangat wajar
kalau dibagi dalam kawasan Donggala kota lama dan Donggala kota baru. Tinggalan
lama seharusnya memang dipertahankan yang berkaitan dengan wisata, “ kata Amar.
Padangan Zubair Butudoka, juga arsitek
tak kalah tegasnya mengatakan membangun suatu kota tidak bisa dipaksakan dengan
memasukkan suatu gagasan atau bentuk bangunan dari luar. Harus tetap
berdasarkan karakter dan kebutuhan masyarakat sebuah kota yang betul-betul
menjadi ciri atau sebagai identitas dan Donggala memiliki kekhasan sendiri.
Berkaitan dengan soal pelabuhan juga
mengemuka dalam FGD Donggala Heritage dilontarkan Fathurahman Mansur. Yaitu
berkaitan adanya rencana Pemkab Donggala yang akan membangun terminal penumpang
di pelabuhan Donggala dengan menggusur bangunan tua yang saat ini menjadi secretariat
Dewan Kesenian Donggala. “Apakah memang terminal itu dibutuhkan mendesak atau
sudah ada kepastian jenis kapal apa saja yang akan berlabuh? Kalau saja memang
kapasitas penumpang tidak begitu banyak, kenapa mesti membangun, padahal ada
beberapa bangunan bisa digunakan untuk itu, “kata Fathurahman.*
(* Penulis seorang peminat sejarah dan budaya tinggal di Donggala)