Oleh: Jamrin Abubakar
Ketika
sajak ini kutulis
Kota
kita masih tengadah
Di
antara apitan bukit-bukit sepi
Jalan
berliku menatap masa depan
Mengantar
kaki-kaki telanjang dari geladak
Mengendap
ke dermaga menyapa peradaban
Wah…
betapa menakjubkan!
Ada
kebanggaan jati diri, nadi yang berdenyut
Ada
cinta yang menggelora
Mendebur
Itu
dulu….. kata sejarah
Persahabatan
masih bersahaja
Sekarang?
Ada
yang terlihat lesu…
nadinya
tak berdenyut!
Wajahnya
kusam…
Kecuali
gelombang tetap bergemuruh
Ombak
mendebur ke tepian
seperti
menunggu Godot
Ketika
sajak ini kubacakan
Kegelisahan
mencabik-cabik
Masihkah
kota tercinta menyapa?
Masa
depan yang tabah
Pergi
tinggalkan rindu saja
Masa
lalu yang terputus
Dimanakah
gerangan?
Ketika
sajak ini kutulis
Suara
kenangan menjerit
Terperosok
peradaban liar
Dari
tirai jendela godaan mengintai
Pertarungan
di persimpangan jalan
Ada
pergulatan jiwa dan kekuasaan
Antara
hasrat dan ketakberdayaan
Bercengkram
kebimbangan
Berlayar
tak kembali
Berlabuh
tak pergi
Inilah
kita
Meskipun
tak punya senjata
Kita
masih miliki kata
Meskipun
tak didengar
Kita
masih miliki rasa
Meskipun
tak dibaca
Kita
masih miliki cinta
Aku
tahu sajak ini tak menarik
Melapuk
dan kehilangan daya
Biarlah
kucabik-cabik saja
Asal
cintamu kembali ke Donggala
23, Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar