Selasa, 27 Januari 2015

Penyelamatan Warisan Donggala dari Area Pecinaan

Oleh: Jamrin Abubakar*

DONGGALA-Puluhan mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Tadulako (Untad) menghadiri event Donggala Heritage yang dipusatkan di area pecinan kota Donggala. Mahasiswa bersama empat orang dosen (Amar, Rahmad Saleh, Zubair Butudoka dan Fathurahman Mansur) Fakultas Teknik Untad memberi apresiasi terhadap upaya pelestarian warisan budaya berupa bangunan-bangunan tua bernilai sejarah di kota tua Donggala. Hadiri pula anggota DPRD Donggala, Aripuddin Hatba Daemantandu, dosen FISIP UNTAD, Hapri Ika Poigi dan sejumlah pemerhati dan pekerja seni dari Kota Palu.
Kehadiran mahasiswa arsitek di Donggala selain untuk mendengarkan berbagai masalah yang diungkapkan dalam diskusi yang dihadiri berbagai kalangan soal warisan kota, juga diharapkan melihat langsung kondisi arsitektur kota tua Donggala. Secara arsitektur, kota tersebut memiliki gaya  yang khas perpaduan  beberapa langgam bangunan antara gaya Eropa, Arab, Cina dan Nusantara. Meskipun mahasiswa hanya mendengar terhadap yang mengemuka dalam pertemuan, tapi mereka mengapresiasi dan rasa senang dengan hadir di kota tua Donggala.
FGD tentang Donggala Heritage, 23 Januari 2015 di Gedung Tua bekas toko di kawasan pecinaan kota Donggala (foto. Rudiawan)

Berbagai pokok pikiran mengemuka dalam Focus Group Discusion (FGD) untuk menjadi rumusan menjadikan Donggala sebagai kota yang memiliki warisan budaya dalam bentuk arsitektur bernilai sejarah. Menurut Fathurahman Mansur, dosen Fakultas Teknik Untad, pelestarian warisan kota di Donggala dapat dimulai dari kawasan pecinan di sekitar area pelabuhan Donggala, terutama bekas toko Teng Hien, salah satu orang Cina yang memiliki usaha perdagangan zaman dahulu di Donggala. Bangunan yang pernah ditempati Teng Hing merupakan bangunan bernilai sejarah dan gaya arsitektur yang menarik. Selain itu masih ada beberapa bangunan tua berarsitektur lama dengan nilai sejarah yang dapat dipertahankan untuk dijadikan cagar budaya. Terutama bangunan PKKDD (Pusat Koperasi Kopra Daerah Donggala) bentuk silinderis dapat dijadikan cagar budaya. Cuma saja status kepemilikannya sudah berpindah tangan dan fungsi serta sebagian sudah diambang kepunahan, sehingga perlu pelestarian dalam bentuk wadah diberi nama Donggala Heritage Society.
“Kalau ini terbentuk akan bekerja dalam pelestarian yang di dalamnya melibatkan berbagai kalangan dengan beragam latar belakang dimana semua orang memiliki hak untuk memberi sumbangan pikiran dan ikut menjaga sebagai kebanggaan masyarakat Donggala,” ungkap Zulkifly Pagessa salah satu penggagas Donggala Heritage.
Pandangan Amar salah satu dosen arsitek dari UNTAD, mengatakan membicarakan warisan kota tua Donggala tidak bias lepas dari pelabuhannya. Pelabuhan merupakan gerbang kota, ibarat untuk masuk dan mengembangkan kota ini, maka harus lebih dulu mengentuk pintunya, yaitu pelabuhan. Selain itu, kata Amar membangun kota Donggala untuk pengembangan, harus dengan tetap mempertahankan kekhasan kawasan pelabuhan. “Dalam merancang Donggala ke depan kaitannya dengan pengembangan wisata, sangat wajar kalau dibagi dalam kawasan Donggala kota lama dan Donggala kota baru. Tinggalan lama seharusnya memang dipertahankan yang berkaitan dengan wisata, “ kata Amar.
Padangan Zubair Butudoka, juga arsitek tak kalah tegasnya mengatakan membangun suatu kota tidak bisa dipaksakan dengan memasukkan suatu gagasan atau bentuk bangunan dari luar. Harus tetap berdasarkan karakter dan kebutuhan masyarakat sebuah kota yang betul-betul menjadi ciri atau sebagai identitas dan Donggala memiliki kekhasan sendiri.
Berkaitan dengan soal pelabuhan juga mengemuka dalam FGD Donggala Heritage dilontarkan Fathurahman Mansur. Yaitu berkaitan adanya rencana Pemkab Donggala yang akan membangun terminal penumpang di pelabuhan Donggala dengan menggusur bangunan tua yang saat ini menjadi secretariat Dewan Kesenian Donggala. “Apakah memang terminal itu dibutuhkan mendesak atau sudah ada kepastian jenis kapal apa saja yang akan berlabuh? Kalau saja memang kapasitas penumpang tidak begitu banyak, kenapa mesti membangun, padahal ada beberapa bangunan bisa digunakan untuk itu, “kata Fathurahman.*

 (* Penulis seorang peminat sejarah dan budaya tinggal di Donggala)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar